slider

Menu

Info Terbaru

Bantah Tudingan Unsrat UKT Naik, ADAKSI: Tolak Potensi Kenaikan, Bukan Katakan Sudah Naik

MANADO,sulutberita.com-Asosiasi Dosen Akademik dan Kevokasian Seluruh Indonesia (ADAKSI) Sulawesi Utara (Sulut) menyatakan keberatan atas pernyataan sejumlah pejabat Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado yang dianggap keliru memahami dan bahkan mempelintir/mempolitisasi tuntutan aksi damai yang digelar para dosen pada 20 Mei 2025 lalu. 

Dalam aksi tersebut, ADAKSI menegaskan bahwa mereka tidak pernah menyatakan bahwa Uang Kuliah Tunggal (UKT) Unsrat Manado telah naik.

“Kami tidak pernah menyatakan UKT sudah naik. Tuduhan itu sepenuhnya tidak benar dan merupakan hoaks yang sengaja diarahkan untuk menggiring opini publik. Yang kami sampaikan jelas bahwa menolak potensi kenaikan UKT, jika dikaitkan dengan pemenuhan besaran remunerasi Unsrat,” tegas Boyke Rorimpandey, selaku Pembina ADAKSI Sulut, Senin (02/06/2025).

Menurut ADAKSI, penolakan terhadap potensi kenaikan UKT bukan tanpa dasar. Dari kajian yang dilakukan, diketahui bahwa salah satu sumber utama pendanaan UNSRAT berasal dari UKT mahasiswa. Jika universitas terus memaksakan penerapan skema remunerasi dalam status BLU (Badan Layanan Umum), maka bisa/sangat berpotensi adanya kenaikan UKT ke depan menjadi semakin besar, ujar Boyke dan Rivo secara bersamaan.

“Remunerasi yang dipaksakan tanpa basis kemampuan keuangan yang realistis akan menimbulkan konsekuensi fiskal. Salah satu jalan pintasnya adalah menaikkan UKT, dan inilah yang kami tolak sejak awal,” ujar Boyke dan Rivo secara bersamaan.

Sementara itu, Adinda Franky Nelwan, yang juga Pembina ADAKSI menambahkan bahwa Rektorat telah mendiskreditkan gerakan ADAKSI pada Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 2025. Suatu gerakan moral yang menyuarakan “Bangkitah! Tegakkan Keadilan.” Aspirasi ADAKSI tentang UKT, sudah jelas bahwa menolak kenaikan UKT jika dikaitkan dengan kenaikan tunjangan remunerasi dosen. Jadi, ini adalah aspirasi antisipatif agar di masa depan tiada kenaikan UKT. Aspirasi ini sudah dijelaskan secara lisan di hadapan Rektor dan Wakil-wakilnya: sebelum Aksi Massa dilakukan (19 Mei) maupun pada saat Aksi (20 Mei), serta secara tertulis dalam Naskah Akademik Aksi yang telah diserahkan pada tanggal 22 Mei 2025 di ruang kerja Prof. Pinaria selaku WR1.

“Namun penjelasan lisan dan tulisan itu, tidak juga dipahami Rektorat. Rektorat tetap menggunakan pemahaman versi keliru. Ini jelas suatu kelirumologi. Lalu memanggil dan memeriksa dosen-dosen ADAKSI untuk memberikan klarifikasi atas dugaan keliru itu,” tambah Adinda.

Ia menegaskan bahwa tindakan pemanggilan terhadap dosen yang menyampaikan aspirasi secara damai, terpelajar dan tanpa kabar bohong (hoaks), merupakan ancaman serius terhadap iklim kebebasan mengemukakan pendapat di dalam institusi pendidikan tinggi. Suatu upaya pembungkaman gerakan kebangkitan keadilan di Universitas Sam Ratulangi. Adinda menyerukan agar Rektorat mengingat kembali dan mewujudkan moralitas suatu Perguruan Tinggi yaitu: Kejujuran,  Kebenaran, dan Keadilan.

Dalam sambutan upacara peringatan Hari Lahir Pancasila, 2 Juni 2025, di Gedung Auditorium UNSRAT, Rektor kembali menegaskan bahwa demo  yang dilakukan oleh ADAKSI sudah menyebarkan hoaks tentang kenaikan UKT. 

Hal ini tentu disayangkan oleh ADAKSI, yang merasa bahwa sikap tersebut semakin menjauhkan ruang dialog akademik yang sehat dan saling menghormati.

ADAKSI menyayangkan sikap yang ditunjukkan oleh Rektor yang terkesan anti kritik. Sebagai bagian dari komunitas akademik, ADAKSI percaya bahwa kritik selama disampaikan secara etis dan ilmiah - adalah bagian dari semangat Pancasila itu sendiri, terutama dalam menegakkan keadilan sosial. ADAKSI berharap ke depan terbuka ruang komunikasi yang lebih konstruktif dan kolaboratif antara Rektorat dan para dosen, demi kemajuan Universitas Sam Ratulangi yang inklusif dan bermartabat. Apalagi ‘torang samua basudara’ dalam Keluarga Besar UNSRAT, walau berbeda pendapat.

JAGA RUANG KEBEBASAN BERPENDAPAT

ADAKSI juga  menyatakan keprihatinan mendalam atas situasi yang menimpa sejumlah dosen Universitas Sam Ratulangi (UNSRAT) usai mengikuti aksi damai pada 20 Mei 2025. Aksi tersebut digelar untuk menyampaikan aspirasi terkait kekhawatiran atas potensi kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) serta ajakan untuk meninjau kembali skema Badan Layanan Umum (BLU) remunerasi yang dinilai berisiko menambah beban biaya pendidikan.

Beberapa hari setelah aksi berlangsung, sejumlah dosen dilaporkan menerima pemanggilan dari pihak fakultas. Langkah ini menimbulkan kekhawatiran bahwa ruang akademik yang seharusnya menjadi tempat aman untuk berpikir kritis dan menyuarakan pendapat, kini mulai tergerus oleh pendekatan yang kurang dialogis.

“Saya mengetahui secara langsung adanya pemanggilan terhadap dosen-dosen yang ikut dalam aksi damai. Ini menjadi sinyal yang mengkhawatirkan bagi kebebasan akademik,” ujar Adinda Nelwan, Pembina ADAKSI.

Menurutnya, kampus seharusnya menjadi ruang terbuka untuk berpikir dan bertukar gagasan secara bebas, bukan tempat yang menimbulkan rasa takut ketika seseorang menyampaikan pandangan yang berbeda.

Boyke Rorimpandey, Pembina ADAKSI Sulut, menambahkan bahwa apa yang mereka suarakan dalam aksi adalah bentuk aspirasi yang sah dan berbasis analisis data. Ia menegaskan bahwa tudingan mengenai penyebaran informasi yang keliru tidak berdasar, karena tidak satu pun dari peserta aksi menyatakan bahwa UKT sudah naik.

“Yang kami sampaikan adalah kekhawatiran atas kemungkinan naiknya UKT jika skema BLU remunerasi tetap diterapkan. Ini bukan tuduhan, tapi analisis dari kondisi yang sedang berjalan. Sayangnya, justru kami yang kemudian dipanggil seolah-olah menyebarkan informasi yang menyesatkan,” jelas Boyke.

Situasi ini diperburuk dengan munculnya narasi dalam sambutan resmi universitas pada momen peringatan Hari Lahir Pancasila, 2 Juni 2025, yang secara eksplisit menyatakan demo tersebut berkonten penyebaran informasi yang tidak benar tentang kenaikan UKT. Pernyataan itu, meski tidak menyebut nama, jelas tidak benar. “Entah karena salah persepsi, atau karena ingin memutarbalikkan aspirasi” tutur Adinda Nelwan. 

“Semoga hanya karena salah persepsi saja. Jika -dan hanya jika- sengaja memutarbalikkan fakta, maka beliau perlu melakukan koreksi diri dan belajar lagi tentang nilai moral yang termaktub dalam sila ‘Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab’: agar sungguh pantas menjadi Pemimpin Perguruan Tinggi yang membawa nama besar Sam Ratulangi.” Lanjut dosen yang mangaku telah lulus Penataran Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) selama 100 jam di tahun 1983.

ADAKSI menilai pendekatan semacam ini justru melemahkan semangat demokrasi dan keterbukaan yang seharusnya menjadi fondasi perguruan tinggi. Mereka menegaskan bahwa universitas akan kehilangan rohnya bila kritik mulai dipandang sebagai ancaman, bukan sebagai bagian dari proses perbaikan institusional.

“Kampus bukan hanya tempat mentransfer ilmu, tapi juga tempat menyemai nalar kritis. Jika dosen pun mulai dibatasi untuk berpikir dan menyuarakan apa yang menurutnya benar, maka kita patut bertanya: bagaimana nasib mahasiswa, dan bagaimana masa depan kebebasan berpikir di negeri ini?” ujar Boyke dan Rivo serta Adinda secara bersamaan.

ADAKSI menyerukan agar UNSRAT membuka ruang dialog yang jujur dan terbuka, serta menghentikan segala bentuk tindakan yang dapat menimbulkan tekanan terhadap sivitas akademika. Mereka yakin, hanya dengan keterbukaan dan keberanian mendengar suara berbeda, institusi pendidikan dapat bertumbuh menjadi tempat yang sehat, adil, dan bermartabat. (*/Tim)

Share
Banner

Sulut Berita

Post A Comment:

0 comments: