slider

Menu

Info Terbaru

Tok!, Putusan MK Soal UU ITE Kini Berpihak Ke Rakyat Sampaikan Kritik, Hakim Konstitusi: Dinyatakan Inkonstitusional Secara Bersyarat...

(Foto/Ist.)

JAKARTA,
sulutberita.com-Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE Tahun 2025.

Diketahui, putusan MK pada 29 April 2025, MK mengabulkan untuk sebagian terhadap permohonan warga Karimunjawa Kabupaten Jepara bernama Daniel Frits Maurits Tangkilisan, dalam uji materiil Pasal 27A jo Pasal 45 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Menurut Isnur, hal ini menjadi titik penting dalam memperkuat hak warga untuk menyampaikan kritik tanpa takut dikriminalisasi.

"Dimana pihak MK menegaskan bahwa, pasal-pasal pencemaran nama baik dan penyebaran berita bohong dalam UU ITE tidak boleh lagi digunakan secara sewenang-wenang oleh lembaga negara, pejabat, atau korporasi untuk membungkam ekspresi publik," terangnya yang menambahkan bahwa, hal tersebut merupakan 'angin segar' karena, setelah hampir dua dekade pasal-pasal dalam UU ITE menjadi alat pemukul terhadap aktivis, jurnalis, dan warga negara yang bersuara kritis.

"Sejak 2006, kami sudah mengingatkan bahwa pasal-pasal pencemaran nama baik dan penyebaran berita bohong dalam UU ITE itu membahayakan demokrasi, dan menjadi instrumen efektif untuk membungkam kritik," ujar Isnur dilansir laman Nu Online saat dalam Diskusi Publik bertajuk Media dan Jurnalis Menyikapi Putusan MK 2025 Atas UU ITE yang diselenggarakan oleh AJI Indonesia secara daring, pada Kamis (19/6/2025). 

Dirinya juga mencontohkan berbagai kasus, mulai dari Baiq Nuril, aktivis lingkungan, hingga dosen di Aceh, sebagai bukti bahwa UU ITE kerap digunakan oleh pemegang kuasa untuk menekan mereka yang lemah. Menurutnya, karakter otoriter dalam penegakan hukum terlihat dari bagaimana aparat penegak hukum dengan mudah mengkriminalisasi ekspresi di ruang digital. 

"Polisi dan jaksa cenderung memakai pasal-pasal ini atas aduan dari pejabat, pengusaha, bahkan institusi negara. Padahal seharusnya negara melindungi hak berekspresi, bukan memenjarakannya," sebut Isnur yang mengingatkan bahwa, perjuangan belum berakhir karena risiko kriminalisasi tetap ada, terutama pada tataran implementasi di lapangan.

"Putusan MK ini adalah langkah penting, tapi perjuangan belum selesai. Kita harus pastikan agar tafsir MK ini menjadi standar nasional dalam penegakan hukum yang adil dan demokratis," tambahnya.

Senada disampaikan Partner LSM Law Firm, Damian Agata Yuvens yang juga sekaligus kuasa hukum pemohon dalam perkara ini, bahwa gugatan terhadap pasal-pasal UU ITE bukan hanya langkah hukum, melainkan juga bagian dari perjuangan demokrasi.

"Kami ingin mencegah lahirnya korban-korban baru seperti Daniel, aktivis lingkungan di Karimunjawa yang dipidana hanya karena menyuarakan kritik," ungkapnya dengan menilai putusan MK yang membatasi tafsir pasal pencemaran nama baik itu merupakan langkah maju.

"MK menegaskan bahwa lembaga negara, pejabat, atau korporasi tidak dapat serta-merta mengaku sebagai korban pencemaran nama baik. Kritik terhadap institusi harus ditempatkan dalam konteks demokrasi, bukan pidana," terang Damian. 

Ditekankannya pula, pentingnya pembacaan kontekstual terhadap ekspresi di media sosial, karena tidak semua keramaian digital bisa dimaknai sebagai gangguan nyata di masyarakat. 

"Putusan ini juga menyoroti bahwa keramaian di media sosial tidak dapat lagi ditafsirkan sebagai 'kerusuhan' di dunia nyata. Opini, bahkan caci maki di medsos, tidak bisa serta-merta dimaknai sebagai keonaran fisik," jelas Damian. 

Sementara itu, Aktivis Hukum dan Dosen STH Jentera, Asfinawati pun turut memperkuat pandangan tersebut dengan menegaskan bahwa martabat manusia sebagai dasar perlindungan hukum ekspresi tidak bisa ditarik ke institusi negara. 

"Martabat itu milik manusia, bukan lembaga. Maka, lembaga tak bisa merasa dihina dan lalu mengadukan rakyatnya sendiri," katanya.

Adapun oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat menjelaskan, pada dasarnya kritik dalam kaitan dengan Pasal 27A UU 1/2024 tersebut merupakan bentuk pengawasan, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat.

Karena itu, untuk menerapkan Pasal 27A UU 1/2024 harus mengacu pada ketentuan Pasal 310 ayat (1) KUHP, yang mengatur mengenai pencemaran terhadap seseorang atau individu.

"Dengan kata lain, pasal tersebut hanya dapat dikenakan terhadap pencemaran yang ditujukan kepada orang perseorangan," ungkapnya.

Dijelaskannya pula bahwa, antara Pasal 27A UU 1/2024 dengan Pasal 45 ayat (5) UU 1/2024 yang terkait dengan pelanggaran terhadap ketentuan larangan dalam Pasal 27A UU 1/2024 merupakan tindak pidana aduan (delik aduan) yang hanya dapat dituntut atas pengaduan korban atau orang yang terkena tindak pidana atau orang yang dicemarkan nama baiknya. Dalam hal ini, kendati badan hukum menjadi korban pencemaran maka ia tidak dapat menjadi pihak pengadu atau pelapor yang dilakukan melalui media elektronik. Sebab hanya korban (individu) yang dicemarkan nama baiknya yang dapat melaporkan kepada aparat penegak hukum terkait perbuatan pidana terhadap dirinya dan bukan perwakilannya. Lalu, agar tidak terjadi kesewenang-wenangan aparat penegak hukum dalam menerapkan frasa "orang lain" pada Pasal 27A UU 1/2024, Mahkamah menegaskan bahwa yang dimaksud frasa "orang lain" adalah individu atau perseorangan.  Oleh karenanya, dikecualikan dari ketentuan Pasal 27A UU 1/2024 jika yang menjadi korban pencemaran nama baik bukan individu atau perseorangan, melainkan lembaga pemerintah, sekelompok orang dengan identitas yang spesifik atau tertentu, institusi, korporasi, profesi atau jabatan.

“Dengan demikian, untuk menjamin kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD RI Tahun 1945, maka terhadap Pasal 27A UU 1/2024 harus dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat sepanjang frasa "orang lain" tidak dimaknai " kecuali, lembaga pemerintah, sekelompok orang dengan identitas spesifik atau tertentu, institusi, korporasi, profesi atau jabatan,” ucap Hakim Konstitusi Arief Hidayat. (*)

Share
Banner
Next
This is the most recent post.
Previous
Posting Lama

Sulut Berita

Post A Comment:

0 comments: