Oleh: Fiko Onga/Staf Khusus Gubernur Bidang Politik & Kebijakan
Pendahuluan: Ketika Ekonomi Bertemu Pertahanan
Di ujung utara Nusantara, Sulawesi Utara (Sulut) tidak hanya memikul tanggung jawab pembangunan, tetapi juga peran strategis sebagai gerbang geopolitik Indonesia di kawasan Asia Pasifik. Ketika gagasan Gubernur Sulut periode 2025-2030 yang tar internalisasi kedalam visi pembangunan lima tahunan kedepan untuk Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan. Ada yang menarik dalam gagasan Gubernur YSK yakni, bukan hanya agenda infrastruktur atau pelayanan publik, tetapi juga narasi diam-diam tentang pertahanan berbasis ekonomi—konsep yang jarang disebut namun sangat terasa urgensinya. Dalam dunia global yang penuh ketegangan dan regionalisasi baru, bagaimana seharusnya kita membaca arah pembangunan Sulawesi Utara ini? Bagaimana kekuatan ekonomi lokal bisa menjadi benteng pertahanan negara?.
Dengan menggunakan pendekatan NOISE (Needs, Opportunities, Improvements, Strengths, Exceptions), artikel ini menelaah secara kritis gagasan perencanaan Gubernur Sulut Mayjen TNI (Purn) Yulius Selvanus dari sudut pandang ilmu administrasi publik—khususnya dalam ranah governance, kewilayahan, dan inovasi kelembagaan—untuk memahami bagaimana strategi pertumbuhan ekonomi Sulawesi Utara secara implisit menjadi bagian dari sistem pertahanan negara non-militer.
NEEDS: Ketimpangan Fiskal dan Kebutuhan Perbatasan yang Terabaikan
Dalam terminologi ilmu administrasi, kebutuhan (needs) bukan sekadar identifikasi kekurangan, melainkan diagnosis kelembagaan terhadap relasi antara tugas negara dan kenyataan lapangan. Perencanaan Sulawesi Utara secara jujur mengakui keterbatasan fiskal, ketimpangan pelayanan dasar di wilayah kepulauan, dan aksesibilitas di perbatasan darat-laut seperti di daerah Sitaro, Talaud dan Sangihe.
Dari sudut pandang pertahanan ekonomi, ini adalah titik rawan. Ketika negara lalai hadir di perbatasan, ekonomi informal lintas batas berkembang tanpa kendali, bahkan menjadi kanal penetrasi ekonomi negara tetangga. Sebagaimana ditulis oleh Winarno (2023) dalam Jurnal Administrasi Negara, lemahnya sistem distribusi pelayanan dasar di wilayah perbatasan dapat mengikis legitimasi negara. Maka kebutuhan Sulut bukan hanya tentang jembatan dan pelabuhan, tapi juga konsolidasi kehadiran negara dalam wujud birokrasi yang tanggap dan tangguh.
OPPORTUNITIES: Laut Biru, Langit Bersih, dan Daratan Hijau sebagai Benteng Ekonomi
Sulut memiliki peluang luar biasa yang tidak semua provinsi miliki: KEK Bitung, pelabuhan internasional, kawasan KSPN Likupang, dan akses laut langsung ke Pasifik. Tetapi peluang ini tidak otomatis berubah menjadi kekuatan kecuali jika dikelola dalam desain kelembagaan yang adaptif dan terkoordinasi. Ekonomi biru—melalui industri perikanan, pariwisata maritim, dan pasar ekspor ikan terpadu—dapat menjadi instrumen diplomasi ekonomi dan kontrol kedaulatan sumber daya.
World Bank (2021) menyebut ekonomi biru sebagai instrumen pertahanan lunak negara-negara kepulauan. Namun, seperti dikritik oleh Andres et al. (2023) di Nature Sustainability, peluang ini akan hilang bila tata kelola ruang laut masih disandera ego sektoral. Rancangan pembangunan Sulut saat ini tengah dan bahkan sudah mengarah ke zona integrasi darat-laut, tapi perlu lebih radikal dalam mendesain coastal command center—struktur administrasi terpadu antara dinas kelautan, pariwisata, perdagangan, dan perhubungan. hal inilah yang kemudian menjadi pijakan gagasan besar sektor kepulauan dengan basis pertahanan ekonomi ala Gubernur YSK yang merupakan Purnawirawan Jendral bintang dua untuk diimplementasikan dalam bingkai perencanaan sulut ke depan.
Sementara itu, daratan hijau Sulut—khususnya kawasan agroforestri dan hutan rakyat—menjadi peluang baru untuk transformasi energi hijau dan pengembangan industri berbasis sumber daya terbarukan. Namun, peluang ini baru akan efektif bila tata kelolanya tidak lagi bersifat sentralistik sektoral, melainkan partisipatif dan berbasis kelembagaan daerah.
IMPROVEMENTS: Reformasi Tata Kelola dan Desain Institusi Lintas-Batas
Saat ini Sulut telah mencantumkan niat untuk digitalisasi layanan, penguatan data sektoral, dan reformasi sistem informasi pembangunan daerah. Namun dalam perspektif ilmu administrasi, Masih diperlukan tata kelola jaringan (network governance) yang menghubungkan aktor negara dan non-negara, termasuk pelaku UMKM, nelayan, diaspora, hingga penjaga pulau.
Dalam rumusan perencanaan Gubernur YSK mulai menampakan peta jalan transformasi kelembagaan berbasis resilience governance. Bagaimana menghadirkan aparatur yang bukan hanya melayani, tapi juga menjaga kedaulatan ekonomi dan merespons perubahan global? Sebagaimana ditulis oleh Klijn & Koppenjan (2016), reformasi administratif hanya berhasil bila diikuti oleh perubahan logika kerja: dari solo menjadi kolaboratif, dari sektoral menjadi terintegrasi, dari birokratis menjadi adaptif dibawah kepemimpinan Gubernur YSK.
STRENGTH: Posisi Geopolitik dan Budaya Maritim sebagai Modal Administratif
Sulut memiliki dua kekuatan utama: posisi geopolitik dan kohesi sosial budaya. Secara spasial, Sulut adalah penghubung antara Indonesia Timur dan Pasifik Barat. Dalam Journal of Asian Geopolitics (2022), posisi ini dikaji sebagai “peripheral hub” yang berperan dalam stabilitas kawasan. Sementara itu, dari sisi sosial, Sulut dikenal sebagai daerah dengan toleransi tinggi, responsif terhadap inovasi, dan memiliki sejarah panjang ekonomi rakyat berbasis laut.
Inilah yang disebut oleh Osborne (2020) sebagai public value capital. Potensi strategis ini semntara dimaterialisasi dalam sistem perencanaan dan penganggaran daerah. Bila Sulut membangun economic defense zones berbasis budaya lokal dan perdagangan maritim, maka ia tidak sekadar membangun provinsi, melainkan menjadi ujung tombak pertahanan ekonomi nasional.
EXCEPTIONS: Fragmentasi, Bias Daratan, dan Ancaman Ketimpangan Baru
Namun di balik peluang dan kekuatan, terdapat kelemahan sistemik yang tidak boleh diabaikan. seperti masih bias daratan—lebih banyak proyek besar di Manado dan Minahasa dibanding Talaud dan Sangihe. Ini menciptakan ketimpangan struktural baru. namun dari pada itu, Gubernur secara tegas memetakan pola pembangunan baru Sulawesi Utara yaitu membangun dari pingiran. strategi konkret berupa mengintegrasi data lintas sektor, lyang merupakan bagian vital untuk pengambilan kebijakan yang presisi serata meningkatkan kolaborasi yang harmosi dari semua sektor.
Fragmentasi vertikal dan horizontal ini berisiko menjadi institutional void—sebagaimana dikemukakan Hiedanpää et al. (2015)—yang melumpuhkan daya kelola daerah ketika kebijakan pusat dan daerah tidak harmonis. Maka dari itu, Perencanaan pembangunan utama Sulut adalah menjahit kembali jejaring kelembagaan agar tidak ada satu pulau pun yang tertinggal dari arus pembangunan dan dari garis pertahanan.
Penutup: Membangun Sulut sebagai Frontline of Economic Sovereignty
Rancangan Pembangunan Sulawesi Utara 2025–2029 oleh Gubernur Sulawesi Utara Bpk Mayjen TNI (Purn) Yulius Selvanus, SE yang merupakan seorang Pensiunan Tentara Nasional Indonesia dengan pangkat Mayor Jendral yang sudah barang tentu memahami keadaan pertahanan dengan kombinasi kebijakan ekonomi yang inklusif. ini adalah bagian pengimplemntasian bidang keilmuan Bpk Yulius sebagaimana kita ketahui, gubernur YSK adalah sarjana ekonomi yang berlatar belakang pertahanan. maka layak diapresiasi karena berani memadukan pembangunan berbasis potensi dan pendekatan keberlanjutan. Namun apresiasi tersebut akan beriringan dengan pengawalan secara terstruktur. Dari perspektif ilmu administrasi, dokumen ini harus ditindaklanjuti dengan desain kelembagaan yang mengarah pada pertahanan berbasis ekonomi. Bukan sekadar jargon hijau dan biru, tetapi sistem yang memastikan bahwa dari pulau terkecil hingga dermaga terdalam, setiap elemen pembangunan adalah penjaga kedaulatan.
Gubernur Sulut Bpk Mayjen TNI (Purn) Yulius Selvanus SE punya peluang memunculkan sejarah: menggeser logika pembangunan dari konsumsi ke ketahanan, dari pertumbuhan ke keadilan spasial, dari darat ke laut, dari Indonesia daratan ke Indonesia samudera. Dalam dunia yang terpolarisasi oleh konflik dagang dan kompetisi blok ekonomi, Sulawesi Utara bisa menjadi otonomi yang berdaulat secara administratif dan berdampak secara strategis.
Referensi:
1. Andres, J. M., et al. (2023). Fragmented Marine Governance in Indonesia. Nature Sustainability.
2. Voyer, M., et al. (2018). The Blue Economy in Asia-Pacific. Marine Policy.
3. Howlett, M., et al. (2020). Designing Subnational Governance for Sustainability. Journal of Comparative Policy Analysis.
4. Hiedanpää, J., et al. (2015). Institutional Liminality and the Governance of Adaptation. Ecology and Society.
5. Osborne, S. (2020). Public Service Logic: Creating Value for Public Service Users, Citizens, and Society. Routledge.
6. Klijn, E.-H. & Koppenjan, J. (2016). Governance Networks in the Public Sector. Routledge.
7. Winarno, B. (2023). Perbatasan sebagai Titik Lemah Negara. Jurnal Ilmu Administrasi Negara. (*)
Post A Comment:
0 comments: