MITRA,sulutberita.com -Wilayah hukum Kepolisian Resort (Polres) Minahasa Tenggara (Mitra) pada bulan Maret 2025 lalu, telah dua kali didatangi Kapolda Sulawesi Utara (Sulut) Irjen Pol Roycke Harry Langie, yang pertama pasca bentrokan berdarah yang terjadi di wilayah pertambangan di Ratatotok dan yang kedua, kehadiran Jenderal Bintang Dua itu melakukan kunjungan kerja di Mako Polres Mitra.
Hal itu pun membawa angin segar bagi masyarakat Mitra terlebih khusus bagi warga di lingkar tambang Desa Ratatotok yang telah merasa aman dari aktivitas ilegal atau Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI).
Sebagaimana juga pernah ditegaskan Kapolda Sulut melalui Waka Polda, Brigjen Pol Bahagia Dachi pasca terjadinya bentrokan di Ratatotok lalu, yang mengingatkan kepada masyarakat selain tetap menjaga kondusivitas keamanan juga terkait dengan perizinan dalam melakukan aktivitas pertambangan.
"Agar masyarakat yang ingin melakukan aktivitas pertambangan untuk melengkapi semua perizinannya," himbaunya.
Adapun terkait dengan himbauan atau penegasan soal perizinan tersebut, kini hanyalah merupakan angin lalu yang dikarenakan kembali adanya dugaan aktivitas ilegal atau PETI di wilayah Nibong Ratatotok yang notabenenya berada di wilayah hukum Polres Mitra yang dibawahi Kapolres AKBP Handoko Sanjaya.
Tak hanya itu saja, bahkan dugaan aktivitas ilegal itu pun semakin menggila dari sebelumnya sehingga menimbulkan keresahan bagi warga karena para oknum (pekerja PETI) terkesan "kebal" hukum, juga menilai ada apa dengan kinerja Kapolres dan Kasatreskrim Polres Mitra yang tak berani menindaki aktivitas PETI di Nibong di Kawasan Hutan Lindung Megawati di Ratatotok, yang juga sebelumnya diketahui sudah pernah di Police Line atau dilakukan penyegelan oleh pihak kepolisian.
Dimana, aktivitas ilegal (PETI) yang diduga kuat didalangi oknum Jun alias JG itu nampak lebih leluasa bahkan tak tanggung-tanggung disebut telah mengerahkan lima (5) unit alat berat untuk mengeruk emas dengan menggunakan metode rendam dua mingguan di dua bak besar dan berlangsung tanpa jeda, siang hingga malam hari.
Sebagaimana diungkapkan sejumlah warga yang namanya tidak ingin dipublis dalam pemberitaan sebelumnya, dari pengakuan sejumlah warga yang meminta namanya tidak ingin dipublikasikan, menurut mereka hal tersebut (kegiatan pertambangan) itu sudah bukan menjadi rahasia lagi, dengan gampangnya aktifitas alat berat keluar masuk di wilayah PETI itu.
"Polisi pernah police line, tapi sekarang jalan terus. Apa tidak ada yang bisa hentikan?" ungkap warga tersebut yang menambahkan bahwa, kawasan pertambangan itu berada di titik yang sulit dijangkau. Namun, suara raungan alat berat dan truk pengangkut material nyaris tak pernah berhenti.
"Fakta ini menimbulkan pertanyaan besar bagi kami, siapa yang melindungi aktivitas ilegalini?," sebutnya.
Ia pun menjelaskan, soal aturan serta Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, setiap bentuk pertambangan tanpa izin adalah pelanggaran serius yang bisa dijerat pidana dan denda miliaran rupiah.
"Apalagi, lokasi tambang berada di area hutan lindung yang seharusnya steril dari aktivitas eksploitatif. Selain aspek hukum, ancaman ekologis mengintai warga sekitar. Kerusakan hutan, pencemaran sungai, potensi longsor dan banjir lumpur menjadi mimpi buruk yang terus menghantui," ujarnya.
Ditambahkan warga lainnya pula, bahwa mereka merasa dihantui dalam ketakutan untuk berbicara jujur maupun ketakutan akan akibat dari pertambangan itu akan berdampak pada kerusakan kampung mereka.
"Alam sudah rusak, air keruh, dan suara alat berat tak pernah berhenti," sebutnya.
Adapun hingga saat ini atau terhitung semenjak berita diterbitkan, upaya konfirmasi masih terus dilakukan sejumlah wartawan ke beberapa pihak seperti, Dinas ESDM Provinsi Sulut hingga pihak Polres Mitra, namun belum dapat membuahkan hasil. (Drin)
Post A Comment:
0 comments: